Thursday, June 19, 2014

Because enough is never enough

Pernah denger kan pepatah tangan kanan memberi sebaiknya tangan kiri tidak perlu tau?

Masalahnya, seberapa banyak sih tangan kanan kita sudah memberi? Apa sudah cukup?

Kalau hitungan cukup atau tidak sih emang 100% Tuhan yang bisa nilai. Tapi diri sendiri seharusnya kan juga punya ukuran cukup atau tidak yang cuma diri kita yang tahu.

Katanya sih yang namanya memberi itu gak akan ada habisnya dan gak pernah cukup. Saya setuju sekali. 

Tapi coba deh kalau lagi mau fair menilai diri sendiri, pada kenyataannya sudah maksimal belum sih si tangan kanan kita ini memberi?

Saya pernah suatu waktu diminta tolong teman mendoakan dia untuk suatu hal yang lagi mau dia lakukan. Doakan ya supaya lancar. Doakan ya supaya tidak ada halangan. Doakan ya supaya hasilnya baik. Apa saat itu saya langsung mendoakan? Kenyataannya sih enggak. 

Memang niatnya mau mendoakan. Beneran deh. Tapi tiba-tiba ada satu dan lain hal kepentingan diri sendiri yang harus didahulukan daripada mendoakan si teman. Nanti deh habis ini. Nanti habis itu. Nanti deh sekalian pas lagi ini. Nanti deh nanti..

Gak berapa lama si teman mengabari kalau hal yang sudah dia lakukan berhasil. Dapat hasil yang baik. Dan berterimakasih atas doa saya.

Saat itu seperti mau nampar diri sendiri dan benturin kepala ke meja. Kan sebenarnya saya gak patut dapat terimakasih itu. Wong saya belum doain sama sekali kok, baru sekedar niat.

Terus pernah keingetan gak hal nyata apa yang pernah dilakuin untuk membantu teman? Hal nyata loh ya. 

Memberi kuping untuk mendengar keluh kesah sih memang baik. Memberi bahu dan tisu sebagai fasilitas teman yang sedang menangis juga baik. Tapi menurut saya, 2 hal itu sebagai penyaluran saja atas masalah si teman.

Tapi memberi solusi nyata atas masalahnya, sudah seberapa banyak sih kita melakukannya? Lebih banyak mana antara memberi penyaluran dan memberi solusi? 

Ya tulisan ini saya buat sebenar-benarnya untuk self reminder saja. Alhamdulillah kalau ada yang jadi terinspirasi juga.

Sudah di usia segini, sudah berapa banyak sih hal baik yang real yang sdah saya lakukan. Apalagi sebentar lagi saya mau jadi ibu. Mau mengajarkan apa ya saya buat si anak nanti supaya hidupnya lebih berguna dari saya. Wong bekal saya kayaknya belum cukup juga. Dan sejuta keegoisan lain yang masih ada di diri sendiri dan susah hilang.

But life is a never-ending lesson katanya. Dan yang namanya memberi itu gak akan pernah ada habisnya dan gak pernah bikin kita miskin juga katanya.

Mudah-mudahan sebelum Allah 'memanggil' saya suatu hari nanti, sudah ada hal nyata yang besar menurut ukuran pribadi saya yang sudah saya lakukan untuk kebaikan orang banyak. Tanpa masih mengkhawatirkan kepentingan sendiri lagi. Amin.

~Tulisan ini terinspirasi sehabis nonton film 'Cahaya dari Timur'. This is a good inspirational movie I've ever seen. Sejuta jempol untuk sutradara dan semua yang terlibat.

Wednesday, November 20, 2013

What Do They Do?

Beberapa waktu belakangan ini saya sempat berpikir, saya sudah menulis beberapa hal di dalam hidup. Tapi kenapa ya belum pernah menuliskan tentang profesi dimana saya 'nyemplung' selama hampir 5 tahun ini.

Meskipun pastinya di luar sana banyak yang lebih berpengalaman dari saya, jadi saya cuma mau membantu kalian yang baca membuka mata sedikit melalui tulisan saya ini.

Tanpa disadari dari sejak lulus kuliah sampai sekarang ini entah kenapa pekerjaan yang saya apply dan saya diterima itu seputar sales & marketing. Scopenya? Ya dari pengalaman 5 tahun ini sih banyak banget. Dari mulai sales & marketing planning, mencari strategi market, direct selling, market research, market analysis, sampe bikin report plus analisanya. Sampai sekarang ini dimana saya lagi berjuang di Digital Marketing.

Kenapa sampai 5 tahun? Ya itu tadi saya bilang, saya sendiri gak tau kenapa. Padahal kalau apply juga beraneka macam. Tapi entah kenapa diterimanya selalu seputar bidang itu yang menjadikan saya termasuk dalam anak teknik yang kerjanya gak sesuai bidang.

Tapi apa saya menyesal? Syukurnya sih enggak. Karena pada dasarnya, menurut saya bidang sales & marketing itu adalah 'the never ending challenge'.

Ketemu klien? Itu scope kami. Klien complain? Juga masih beban kami. Produksi tidak lancar? Ya berpengaruh ke jualan juga sih, makanya masih scope kami juga. Pembayaran dari klien gak lancar? Kita juga yang harus bantu kejar kliennya. Kompetitor tiba-tiba bikin movement yang gak disangka-sangka? Kami juga yang harus pintar-pintar jadi 'penyusup' dan cari tahu banyak hal. Ngurusin human resources gak? Iya sih kalau sudah punya team sendiri. Lalu report jualan bulanan jelek? Wah disinilah sekuat tenaga putar otak cari alesan kenapa (dari mulai alesan yang memang bener sampai alesan yang mengada-ada, asal pihak lain tenang dan senang) dan termasuk juga memplanning strategi baru.

Lalu dimana tantangannya? Menurut saya, yang paling menantang adalah karena yang kami hadapi sebagian besar adalah sesama manusia. Sama-sama makhluk Tuhan yang diberi otak dan hati juga. Yang kadang lebih dominan pakai otak, kadang lebih dominan pakai hati dan emosi, dan bahkan kadang gak pakai keduanya.

Dan itu menurut saya adalah pembelajaran yang gak pernah habis. Ya karena setiap hari yang berbeda dengan klien yang berbeda dan situasi berbeda, kita gak akan pernah menemukan hal yang sama persis di dunia ini. Dan bahkan kadang berbedanya sungguh drastis dari hari ke hari. Bisa aja hari ini kita yang happy. Bisa juga besoknya kita yang jungkir balik bikin klien happy. Dan lucunya, apapun yang terjadi hari ini, usahakan besok sudah disingkirkan semua yang buruk-buruk dan mulai lagi pake senyum. Dimana itu adalah bagian paling susah kalo menurut saya.

Tapi justru disitu kita bisa belajar banyak dari orang-orang di sekitar. Dan biasanya sih, pelajarannya lebih 'nyantol' di otak karena praktek langsung dari lapangan.

Ya apapun itu, balik lagi, saya sendiri sampai sekarang masih belum tahu kenapa 5 tahun ini saya 'nyemplung' di bidang ini. Tapi anggap saja memang sudah jalan dari Tuhan. Dan setiap yang diberikan oleh Tuhan sudah sepatutnya disyukuri dan dijalani sebaik-baiknya. Selamat pagi! :)

~Tulisan ini terinspirasi dari seorang klien yang selalu mau dibikin happy. Matur nuwun sanget. Mugi Gusti Allah ingkang mbales.


Thursday, April 25, 2013

Hello Goodbye


Jadi, menikah itu rasanya lega. Titik.

Kalau saya sih, merasanya, setelah melewati segala rangkaian acara pernikahan mulai dari pengajian, upacara adat, akad nikah, sampai resepsi, itu apa ya, semacam rangkaian ungkapan syukur kepada Tuhan yang gak habis-habis.
Tapi yang jelas, ada beberapa hal di rangkaian menjelang acara ini yang saya rasa, Tuhan sengaja menunjukkan ke saya untuk pembelajaran. Dan itu yang mau saya share di blog ini.

Bahwa :

Just follow your heart. Dulu di awal saya juga banyak tanya kiri kanan gimana persiapan orang-orang, terus banyak searching dari internet tentang vendor ini itu, tentang konsep ini itu. Tapi pada akhirnya, yang sreg di hati aja yang saya pilih. Orang lain boleh banget kasih masukan, terima-terima aja, tapi kalau gak sesuai, ya jangan diikutin. Karena at the end, rasanya tuh beda antara menjalankan sesuatu berdasarkan pilihan orang dan pilihan hati sendiri.

Dulu juga, waktu di awal, saya dan sahabat saya yang juga mau menikah di tahun yang sama sempet bimbang, apakah mau pakai jasa wedding organizer (WO) atau tidak. Bukan apa-apa, manusiawi banget  kalau di saat sudah mentok dan capek dan pusing sedangkan banyak banget yang masih harus dilakuin, kita jadi kepengen banget rasanya ambil jalan pintas. Tapi kok ya setelah disurvei kiri kanan, konsep WO kebanyakan itu gak sesuai kayak yang kita mau. Jadi seolah-olah itu acaranya si WO bukan acara kita. Kalaupun total mau ikut konsep kita, tetep kepentok budget tinggi dimana gak masuk akal banget dan ya mau gak mau akhirnya balik lagi, harus ikut rule-nya si WO. Dan akhirnya sekarang setelah saya ngerasain dan sudah jalanin semuanya all by ourselves, lagi-lagi, puasnya tak terkira.

TAPI, bukan berarti saya gak setuju ya sama konsep WO dan orang-orang yang pilih pake WO dalam mempersiapkan acaranya. Mungkin kalau kondisi keuangan saya berlebih dan waktu saya yang terbatas, saya juga akan pakai WO kok. Ya, ini sih balik lagi, karena kondisi aja yang gak memungkinkan. *dibaca:irit*

Saya baru mengerti sekarang konsep pawang hujan. Ya, karena acara resepsi saya adalah di outdoor, was-wasnya jadi dobel-dobel. Apalagi, sampai sehari sebelum acara itu, Jakarta non-stop hujan bahkan sampai banjir di beberapa tempat. Kalau Berry sih sampai H-1 masih yakin acara akan berjalan lancar tanpa turun hujan. Kalau mama, ya gak usah ditanya lah ya, paniknya triple dari paniknya saya. Kalau vendor-vendor, dari mulai komen “Gak lah mbak, kan kita sudah sama-sama doa, mudah-mudahan hujannya gak turun dan acara lancar.”, sampai di H-1 komen doi berubah jadi “yaudah mbak, anggep aja kalau memang turun hujan itu berkah dari Allah” (sambil tertunduk lemas). Dan saya sebagai yang gampang banget ditularin panik, paniklah langsung. Akhirnya Berry memutuskan untuk memakai pawang hujan.

Lalu bagaimana acara saya? Alhamdulillah lancar selancar-lancarnya tanpa hujan. Pagi hari sebelum akad memang sempat gerimis kecil. Tapi dari mulai akad sampai malam saat resepsi, aman tanpa hujan, plus angin dingin, plus banyak bintang.

Dan setelah selesai acara saya ngobrol-ngobrol sama Berry, saya jadi sadar, bagaimanapun yang terjadi itu kuasa Tuhan bukan kuasa pawang hujan. Kapanpun Tuhan mau hujan turun, mau pakai pawang secanggih apapun dan sebanyak berapapun, ya pasti akan turun juga hujannya. Dan kalau acara saya kemarin sampai lancar dan cuaca mendukung itu ya berkat doa saya, doa Berry, doa orang tua dan doa orang-orang sekitar yang sayang sama kami berdua.

Lalu dimana esensi pawang hujannya? Pawang hujannya menurut saya itu bagian dari rencana Tuhan. Dikirimkan Tuhan untuk menenangkan hati saya dan mama. Coba bayangin gimana kalau saya gak pake pawang kemarin? Pasti saya juga gak tenang, panik berlebihan, stres dan malah bisa membuat rusak suasana. Dan mungkin juga doa si pawang ikut melengkapi rangkaian doa dari kami semua. Jadi, si pawang juga sama besar jasanya di acara saya kemarin.

Lalu, godaan dari mantan terjadi untuk beberapa orang termasuk saya. Godaan disini bukan dalam arti godaan iman untuk balik lagi ke mantan dan membatalkan rencana pernikahan ya. Percayalah, hal-hal kayak gitu itu cuma terjadi di sinetron-sinetron dan bukan di kehidupan nyata. Maksud saya godaan mantan itu adalah entah kenapa setiap saya mau hidup tenang tanpa diusik-usik, selalu saja muncul lagi, muncul lagi dan muncul lagi. Bukan apa-apa, saya itu termasuk orang yang males banget direcokkin sama urusan masa lalu, apalagi kalo masa lalunya gak nyenengin.

Lalu untuk menghadapi orang-orang seperti itu, untuk saya, sama halnya seperti kita menghadapi bangkai tikus. Gali tanah, masukkan bangkai, tutup kembali tanahnya, beli bunga, tabur bunga di kuburan tikus itu sambil berdoa semoga arwahnya tenang di alam lain. Amin.

Tuhan memang mengirimkan kita banyak orang di sekeliling kita, that’s what we called them friends. Tapi, yang dekat di hati boleh kita pilih-pilih kok. Dari mulai persiapan sampai acara, saya seperti makin dipermudah jalannya untuk memilih, makin diperlihatkan mana yang memang benar-benar layak tinggal di hati, mana yang lebih baik cuma sebatas senyum dan basa-basi basi saja. Pilihlah teman-teman yang mendukung di segala hal. Misalnya teman yang : selalu ada untuk kita dengan tulus, tidak mendominasi, tidak self-centered, tidak menambah emosi.

Ya kalau ada yang bertemu orang-orang seperti ini, senyumin saja, pelan-pelan menjauh, dan some things are better left unfinished kok.

Sejauh ini saya merasa sudah memilih partner hidup yang tepat. Kenapa? Kalau kata orang-orang, persiapan pernikahan itu ujian hubungan banget, terus semakin terbukalah semua sifat buruk pasangan, terus bakal banyak ribut sama pasangan, alhamdulillah saya enggak. Bukan berarti gak ada masalah loh ya. Ada lah pasti, tapi masalah-masalah itu timbulnya bukan dari saya atau pasangan, dan kami menghadapinya dengan baik (in my opinion) tanpa ribut, tanpa diem-dieman. At the end, saya merasanya kalau saya dan Berry itu satu team yang hebat. We did it all great in so many ways

Sebagai wanita, menghadapi mama yang juga wanita, itu sama menyiksanya dengan menghafal rumus fungsi  kimia. Apalagi yang dipakai itu sama-sama hati. Pastilah banyak sekali drama yang terjadi. Jujur aja, saya sendiri sih sampai lupa apa-apa aja yang bikin kita berantem, debat, nangis-nangisan, tapi yang jelas at the end melihat mama yang seneng itu rasanya melebihi seneng yang kita sendiri rasain dan menambah rangkaian ungkapan syukur sama Tuhan.

Prinsip saya dan Berry dari awal adalah nothing is perfect. Termasuk menjalankan acara sebesar ini berdua dan menjalankan “langkah baru” di depan mata berdua. 

Dan mencoba untuk memenuhi keinginan SEMUA orang itu adalah TIDAK MUNGKIN. Dan kalau ada yang bilang, “mumpung bisa, ya lakukan saja yang paling baik, menyenangkan hati orang-orang”, itu bener banget kok, tapi batasan yang paling baik itu yang seperti apa? Kalau buat saya dan Berry, lakukan semua hal yang paling baik menurut batasan diri kita, jangan sampai melebihi batas kemampuan diri sendiri. And it works!

Dan dari semua hal, sampai detik ini, saya bersyukur gak putus-putus. Juga berterimakasih yang tak terhingga untuk semua orang yang sudah membantu saya dan Berry, orangtua, keluarga, sahabat-sahabat, vendor-vendor, dan semua orang lain yang tak terduga kehadirannya. Matur nuwun sanget, mugi Gusti Allah ingkang mbales. :)